Resolusi PBB 242: Janji Perdamaian atau Ilusi Diplomatik?
Resolusi PBB 242 adalah salah satu dokumen internasional paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah konflik Timur Tengah, khususnya konflik Palestina Israel. Disahkan pasca Perang Enam Hari 1967, resolusi ini dianggap sebagai fondasi diplomatik bagi solusi damai, namun juga dikritik karena bahasanya yang ambigu dan pelaksanaannya yang setengah hati. Dalam artikel ini, kita akan membedah sejarah, isi, dampak, dan relevansi Resolusi PBB 242, serta apakah ia masih dapat menjadi dasar perdamaian atau hanya sebatas simbol ilusi diplomatik.
Latar Belakang Terbitnya Resolusi PBB 242

Perang Enam Hari 1967 dan Pendudukan Wilayah Arab
Perang Enam Hari yang pecah pada Juni 1967 menjadi titik balik geopolitik kawasan Timur Tengah. Dalam waktu singkat, Israel berhasil mengalahkan Mesir, Yordania, dan Suriah, serta merebut wilayah-wilayah strategis: Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Pendudukan ini mengguncang dunia Arab dan menciptakan ketegangan global yang membutuhkan intervensi diplomatik mendesak.
🔗 Baca Juga:
Baca juga: Perang Enam Hari 1967Reaksi Dewan Keamanan dan Tujuan Resolusi
Sebagai tanggapan terhadap krisis ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Resolusi 242 pada 22 November 1967. Tujuannya adalah untuk menenangkan ketegangan dan membuka jalan bagi perdamaian jangka panjang berdasarkan prinsip penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah semua negara di Timur Tengah.
Negara-negara yang Mendukung dan Menolak
Resolusi 242 disahkan secara bulat oleh 15 anggota Dewan Keamanan, namun penerimaan di lapangan sangat bervariasi. Israel dan Amerika Serikat mendukung resolusi dengan interpretasi fleksibel. Negara-negara Arab awalnya menolak karena tidak menyebutkan hak-hak rakyat Palestina. Palestina sendiri bahkan tidak diakui sebagai subjek politik dalam teks tersebut.
Isi Resolusi PBB 242 dan Tafsir yang Kontroversial
Dua Pilar Utama: Penarikan & Pengakuan Kedaulatan
Resolusi 242 memiliki dua prinsip utama:
- Penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki dalam konflik 1967.
- Pengakuan kedaulatan dan hak setiap negara di kawasan untuk hidup damai dalam batas yang aman.
Secara teori, prinsip ini mendorong kompromi antara pihak-pihak yang berseteru. Namun dalam praktiknya, interpretasi yang berbeda menjadikan implementasi resolusi ini tidak pernah sepenuhnya tercapai.
Masalah Frasa “From Territories” dan Ambiguitas Teks
Poin paling kontroversial dari Resolusi 242 terletak pada frasa:
“Withdrawal of Israeli armed forces from territories occupied in the recent conflict.”
Tidak adanya kata sandang “the” sebelum “territories” menciptakan tafsir ganda:
- Negara-negara Arab: mengartikan bahwa Israel harus menarik diri dari semua wilayah yang diduduki.
- Israel dan pendukungnya: menafsirkan bahwa penarikan dapat dilakukan secara selektif, berdasarkan negosiasi bilateral.

Versi Bahasa Inggris vs Arab: Mengapa Jadi Sengketa?
Perbedaan versi bahasa juga memperkeruh masalah. Versi bahasa Arab menyiratkan penarikan penuh dari semua wilayah, sedangkan versi Inggris (yang resmi digunakan PBB) tidak menegaskan hal tersebut. Hal ini menjadi dasar konflik tafsir yang tak kunjung selesai dan menyulitkan konsensus diplomatik.

Dampak Resolusi 242 terhadap Konflik Palestina Israel
Implementasi oleh Israel dan Negara Arab
Israel bersedia menerapkan Resolusi 242 hanya dalam konteks perjanjian damai bilateral. Hal ini terbukti dalam perjanjian Camp David dengan Mesir tahun 1978, di mana Israel menarik diri dari Sinai. Namun terhadap Palestina, Israel tidak melakukan penarikan penuh dari Tepi Barat dan Gaza. Negara-negara Arab mulai menerima resolusi setelah 1973, namun tetap mengkritik ketidakseimbangannya.
Ketidakhadiran Kata “Palestina” dalam Dokumen
Salah satu kritik paling tajam adalah tidak disebutkannya rakyat Palestina dalam teks Resolusi 242. Hal ini menegaskan bahwa pada saat itu, Palestina tidak dipandang sebagai subjek hukum atau politik yang sah. Ketidakhadiran ini memperparah marginalisasi mereka dan memicu lahirnya organisasi seperti PLO (Palestine Liberation Organization).
Kaitannya dengan Resolusi 338 dan Proses Perdamaian Oslo
Resolusi 338 (1973) menyerukan implementasi segera dari Resolusi 242 dan menjadi dasar legal untuk proses damai Oslo pada awal 1990-an. Meskipun begitu, tidak ada progres berarti terhadap penarikan penuh atau realisasi negara Palestina merdeka. Bahkan permukiman Israel terus berkembang di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari solusi dua negara.
Kritik dan Pandangan Alternatif terhadap Resolusi 242
Pandangan Human Rights Watch dan Amnesty International
Lembaga HAM internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International menilai bahwa Resolusi 242 gagal menegaskan prinsip keadilan. Mereka mengkritik PBB karena menggunakan bahasa kompromi yang membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berlanjut, terutama terhadap warga sipil Palestina di wilayah pendudukan.
Argumen Akademisi: Legalitas vs Realitas
Banyak akademisi hukum internasional berpendapat bahwa Resolusi 242 secara legal lemah karena bergantung pada tafsir dan negosiasi, bukan perintah wajib. Di sisi lain, politisi dan diplomat menilai bahwa fleksibilitas tersebut justru membuka peluang kompromi. Sayangnya, kompromi yang dimaksud tidak pernah benar-benar diwujudkan.
Kutipan Tokoh: Diplomasi atau Disfungsi?
“Resolusi 242 adalah upaya diplomatik yang gagal. Ia menjanjikan perdamaian, tapi tidak memberikan alat untuk mencapainya.”
— Edward Said, intelektual Palestina
Refleksi: Apakah Resolusi PBB 242 Masih Relevan Hari Ini?
Solusi Dua Negara dan Realitas Lapangan
Meskipun Resolusi 242 tetap menjadi fondasi diplomasi Timur Tengah, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan besar. Permukiman ilegal terus berkembang, Yerusalem diperebutkan, dan blokade Gaza memperburuk krisis kemanusiaan. Solusi dua negara yang seharusnya dijembatani oleh Resolusi 242 kini tampak semakin jauh dari kenyataan.
Apa yang Dibutuhkan untuk Implementasi Nyata?
Untuk menjadikan Resolusi 242 efektif, diperlukan:
- Tekanan internasional yang konsisten terhadap Israel untuk menghentikan ekspansi permukiman.
- Rekognisi hak rakyat Palestina sebagai subjek politik penuh.
- Dukungan nyata dari kekuatan besar dunia terhadap keadilan, bukan hanya stabilitas.
Tertarik dengan Produk Kami?
Temukan barang-barang unik dan menarik di toko online kami!
Kunjungi Toko Sekarang