Oedipus: Kisah Tragis yang Menantang Takdir
Dalam dunia mitologi Yunani, ada satu kisah yang mengguncang kesadaran manusia tentang nasib, kesombongan, dan pencarian jati diri: kisah Oedipus. Ia bukan sekadar raja—tetapi lambang dari perjuangan manusia melawan takdir, dan tragisnya, kalah oleh nubuatan yang ditetapkan sebelum ia lahir. Ia berlari dari takdirnya, namun justru berlari menuju kehancuran. Cerita ini telah mengilhami banyak karya sastra, drama, dan filosofi karena mengandung konflik universal yang tak lekang oleh waktu: antara kehendak bebas dan jalan hidup yang sudah ditentukan.

Ramalan yang Mengutuk Sejak Lahir
Kisah bermula di kota Thebes, tempat Raja Laius dan Ratu Jocasta akhirnya diberkahi seorang anak setelah sekian lama menanti keturunan. Namun kebahagiaan itu berubah menjadi horor ketika Raja Laius mendatangi Orakel Delphi, pusat ramalan paling suci di Yunani Kuno. Ramalan mengerikan pun keluar: “Anak itu akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.”
Tak ingin kutukan itu menjadi nyata, Laius mengambil keputusan ekstrem. Ia menyuruh seorang pelayan untuk menusuk pergelangan kaki bayi mereka—sebagai tanda dan untuk melemahkannya—lalu membuangnya di lereng Gunung Cithaeron agar dimakan binatang liar. Namun sang pelayan merasa iba dan tak sanggup menghabisi nyawa anak tak berdosa itu. Ia lalu memberikan bayi tersebut kepada seorang gembala dari Korinthos. Tanpa mengetahui asal-usul bayi itu, sang gembala menyerahkannya kepada Raja Polybus dan Ratu Merope, penguasa Korinthos, yang saat itu juga mendambakan seorang anak. Mereka mengadopsi bayi itu dan menamainya Oedipus—yang berarti “si kaki bengkak.”
Pelarian yang Menyesatkan
Oedipus tumbuh sebagai pangeran Korinthos yang cerdas, tampan, dan dicintai rakyat. Namun ketika ia dewasa, seseorang di pesta istana secara sembrono menyindir bahwa ia bukan anak kandung Raja Polybus. Hal ini mengguncang batinnya. Merasa ragu dan cemas, Oedipus diam-diam pergi ke Orakel Delphi untuk mencari jawaban atas asal-usulnya.
Namun bukannya menemukan siapa orang tuanya, Oedipus justru menerima nubuat menakutkan: “Engkau akan membunuh ayahmu dan menikahi ibumu.” Penuh ketakutan dan rasa tanggung jawab, Oedipus memilih untuk tidak kembali ke Korinthos. Ia berpikir, dengan menjauh dari orang tua angkatnya, ia bisa melawan takdir. Maka ia berjalan ke arah sebaliknya—tanpa tahu bahwa langkah itu justru membawanya menuju Thebes, tempat orang tua kandungnya sebenarnya tinggal.
Dalam perjalanan, di persimpangan jalan sempit yang dikenal sebagai “Tiga Jalan Bertemu”, ia bertemu seorang pria tua dan rombongan pengawalnya. Terjadi percekcokan kecil yang berubah menjadi pertarungan. Oedipus, dengan amarah dan keahlian bertarungnya, membunuh mereka semua—tanpa mengetahui bahwa pria tua itu adalah Raja Laius, ayah kandungnya sendiri.
Sang Penakluk Sphinx dan Raja Thebes
Setiba di Thebes, Oedipus menemukan kota itu sedang dilanda ketakutan. Seekor makhluk buas bernama Sphinx meneror kota, memberikan teka-teki maut kepada siapa pun yang lewat. Mereka yang gagal menjawab langsung dibunuh secara keji. Kota menjadi lumpuh dan rakyat hidup dalam ketakutan.
Teka-tekinya berbunyi: “Makhluk apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari?”
Oedipus, dengan kecerdasannya, menjawab: “Manusia. Saat bayi, ia merangkak dengan empat kaki; saat dewasa, ia berjalan dengan dua; dan saat tua, ia menggunakan tongkat—tiga kaki.” Jawaban itu mematahkan kutukan Sphinx. Makhluk itu pun bunuh diri dan Thebes pun bebas.
Sebagai bentuk syukur dan penghargaan, rakyat Thebes menjadikan Oedipus sebagai raja baru mereka dan menikahkannya dengan janda raja sebelumnya, Ratu Jocasta—yang, tragisnya, adalah ibu kandungnya sendiri. Dari pernikahan itu lahirlah empat anak: dua putra, Eteokles dan Polyneikes, serta dua putri, Antigone dan Ismene. Mereka hidup dalam kemakmuran dan kehormatan, tanpa menyadari kebenaran yang mengintai.
🔗 Baca Juga:
Baca juga: Sosok Kuat Perempuan dalam Dunia MitosTerbukanya Tabir Kebenaran
Bertahun-tahun kemudian, Thebes dilanda bencana lain—wabah penyakit yang merenggut nyawa dan merusak hasil panen. Oedipus, sebagai raja yang bertanggung jawab, bertekad menemukan penyebabnya. Ia mengutus seorang utusan ke Orakel Delphi, dan jawaban yang diberikan sangat mengejutkan: wabah ini adalah kutukan karena pembunuh Raja Laius masih hidup dan belum dihukum.
Oedipus bersumpah akan mencari pembunuh itu dan membawa keadilan. Dalam penyelidikannya, ia memanggil sang peramal buta, Tiresias, yang awalnya menolak berbicara. Namun akhirnya, dengan berat hati, Tiresias berkata: “Engkau sendirilah pembunuh itu. Engkaulah penyebab kehancuran ini.”
Oedipus marah, tidak percaya, dan menuduh semua orang berkonspirasi melawannya. Tapi satu demi satu bukti terkuak. Seorang saksi tua mengenali tanda luka di kaki Oedipus sebagai bayi yang dulu dibuang oleh Laius. Jocasta menyadari semuanya terlebih dahulu—dan dalam keputusasaan yang amat dalam, ia gantung diri di istana.
Saat Oedipus mendapati jasad istrinya—yang juga ibunya—ia diliputi rasa bersalah yang begitu dalam. Dalam tindakan simbolis dan penuh rasa sakit, ia mencabut bros pakaian Jocasta dan menusuk kedua matanya. Ia memilih buta, karena ia merasa tak pantas lagi melihat dunia yang telah ia cemari dengan dosanya sendiri.
Dengan tubuh penuh luka dan jiwa yang hancur, Oedipus turun dari tahta dan mengasingkan diri dari Thebes.
Pengasingan dan Makna Hidup
Dalam pengasingannya, Oedipus hanya ditemani oleh putrinya yang setia, Antigone. Mereka mengembara tanpa tujuan, hingga akhirnya tiba di Kolonos, sebuah wilayah suci dekat Athena. Di tempat itu, Oedipus diterima dan mendapat tempat untuk meninggal dengan damai. Dalam beberapa versi cerita, tubuhnya tidak pernah ditemukan—karena ia diserap bumi dan diangkat sebagai roh pelindung kota.
Kisah Oedipus tidak berhenti di tragedi. Ia adalah pelajaran tentang kerendahan hati, pencarian jati diri, dan harga dari pengetahuan yang datang terlalu cepat. Ia adalah simbol dari hubris—kesombongan manusia yang berpikir bisa menghindari takdir hanya dengan kehendak dan logika. Ironinya, Oedipus baru “melihat” kebenaran saat ia kehilangan penglihatannya.
Simbol, Refleksi, dan Relevansi Modern
Kisah ini tetap hidup karena menggambarkan dilema manusia yang sangat universal. Dalam zaman modern, kita bisa memaknai Oedipus sebagai simbol:
- Krisis identitas dan pencarian asal-usul diri di tengah kompleksitas hidup.
- Trauma masa lalu yang akhirnya kembali menghantui meski sudah dikubur.
- Bahaya dari ketidaktahuan dan keengganan menerima kenyataan.
Oedipus juga mengingatkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan, tapi juga beban. Tak semua orang siap menghadapi konsekuensi dari kebenaran yang mereka cari. Dan terkadang, semakin kita mencoba menghindari luka, semakin kita menuju sumber luka itu sendiri.
Penutup: Cermin Kehidupan dari Dunia Mitologi

Tragedi Oedipus bukan sekadar cerita kuno, tapi cermin tajam bagi kehidupan manusia. Kita semua adalah Oedipus dalam berbagai bentuk—berusaha menjadi baik, mengambil keputusan, namun kadang harus menanggung akibat dari hal-hal yang tidak kita ketahui. Ia adalah kisah tentang kerapuhan manusia, tentang pencarian arti hidup, dan tentang kejujuran menghadapi kenyataan yang menyakitkan.
“Ia melihat dengan mata, tapi buta terhadap kebenaran.” — Sebuah kalimat yang mengingatkan kita bahwa melihat tidak selalu berarti memahami.