Children of God: Kisah Gelap Sekte Seksual Berkedok Agama
1. Konteks Sosio-Kultural: Transformasi Radikal dalam Lanskap Keagamaan Amerika Serikat 1960-an
Era 1960-an di Amerika Serikat ditandai oleh pergeseran paradigma sosial dan budaya secara masif. Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik akibat Perang Vietnam, kebangkitan gerakan hak-hak sipil, serta meluasnya kontrakultur, muncul ketidakpuasan terhadap struktur institusional tradisional, termasuk institusi keagamaan konvensional. Generasi muda yang teralienasi dari narasi besar negara-bangsa mulai mencari spiritualitas alternatif sebagai respons terhadap kekosongan eksistensial dan ideologis. Dalam konteks inilah, sejumlah gerakan keagamaan baru bermunculan, termasuk sekte Children of God, yang dikenal luas karena ajaran sesat dan praktik kontroversial yang dijalankannya atas nama spiritualitas dan pembebasan pribadi.
Dalam konteks tersebut, David Berg—seorang mantan penginjil dari denominasi konservatif—memanfaatkan kekacauan sosial untuk mendirikan komunitas keagamaan alternatif. Pada tahun 1968, di Huntington Beach, California, ia meluncurkan Children of God sebagai suatu entitas pseudo-keagamaan yang menawarkan sintesis antara eskatologi, cinta kasih universal, dan komunalisme spiritual. Berg mengkonstruksikan dirinya sebagai nabi eskatologis yang menerima wahyu langsung, dan memperluas pengaruhnya melalui media cetak internal bernama Mo Letters, yang kemudian menjadi dokumen normatif komunitas ini.

2. Doktrin Keagamaan dan Rezim Seksualitas: Rasionalisasi Teologis atas Kekuasaan Tubuh
Ekspansi global Children of God ditandai dengan rekayasa sosial yang intens dalam struktur komunitas tertutup (“koloni”). Dalam formasi ini, subjek anggota dilebur ke dalam identitas kolektif melalui regulasi sosial yang ketat, termasuk penghapusan kepemilikan pribadi dan pengendalian terhadap relasi afektif dan seksual.
Ajaran Berg, yang terkodifikasi dalam ribuan Mo Letters, menciptakan sebuah konstruksi teologis yang melegitimasi praktik seksual sebagai manifestasi cinta ilahi. Dua doktrin utama yang problematik adalah:
- Flirty Fishing (FFing): Perempuan dijadikan agen evangelisasi seksual, didorong untuk membentuk hubungan intim dengan individu luar sebagai bentuk “kasih Tuhan”. Praktik ini direduksi menjadi alat konversi, mengaburkan batas antara spiritualitas dan objektifikasi tubuh.
- Normalisasi seks bebas dan dekonstruksi monogami: Seks diposisikan sebagai bentuk tertinggi dari persekutuan spiritual, sehingga ikatan eksklusif dianggap membatasi ekspresi kasih ilahi. Hal ini menciptakan atmosfer permissif yang melanggengkan dominasi dan pelanggaran batas etika.
Mo Letters menggabungkan narasi teologis, ilustrasi erotis, dan argumentasi moralistik yang bersifat hegemonik—membentuk diskursus yang menormalkan penyimpangan etik melalui kerangka religius.
🔗 Referensi Eksternal: The Family International
Untuk memahami lebih dalam tentang sejarah dan praktik kontroversial sekte The Family International (sebelumnya dikenal sebagai Children of God), Anda dapat membaca artikel lengkap di Wikipedia.
Baca Selengkapnya di Wikipedia3. Kekerasan Terhadap Anak: Legitimasi Kekuasaan Struktural atas Tubuh yang Rentan
Aspek paling mengkhawatirkan dari Children of God adalah praktik kekerasan sistemik terhadap anak-anak. Anak-anak yang lahir dalam komunitas ini tidak hanya terasing dari dunia luar, tetapi juga dijadikan subjek dari proyek ideologis yang menafikan hak-hak dasar mereka. Bentuk kekerasan tersebut meliputi:
- Pelecehan seksual terstruktur, yang dilegitimasi oleh tafsir doktrinal Mo Letters.
- Indoktrinasi dogmatik, yang memposisikan otoritas Berg sebagai mutlak sejak usia dini.
- Pengasingan epistemik, dengan menghalangi akses terhadap pendidikan dan informasi alternatif.
Testimoni penyintas, baik dalam bentuk dokumenter maupun kesaksian pengadilan, mengungkapkan dampak jangka panjang berupa trauma psikologis, kesulitan integrasi sosial, dan kerusakan identitas personal. Dalam perspektif studi kekuasaan, hal ini mencerminkan manifestasi biopolitik, di mana tubuh anak dijadikan locus kekuasaan ideologis.
4. Strategi Rebranding dan Transformasi Superfisial
Menanggapi tekanan hukum dan eksposur media pada 1980-an, Children of God melakukan serangkaian strategi rebranding. Berganti nama menjadi The Family of Love, The Family, dan akhirnya The Family International, mereka mengklaim telah melakukan reformasi teologis dan institusional, termasuk penghapusan praktik Flirty Fishing dan pembentukan kebijakan perlindungan anak.
Namun, kritik dari kalangan akademik dan penyintas menunjukkan bahwa reformasi ini bersifat kosmetik. Struktur otoritas tetap mempertahankan warisan ajaran Berg, yang meskipun tidak eksplisit, tetap hadir dalam bentuk narasi terselubung. Ini memperlihatkan dinamika kekuasaan yang resisten terhadap transformasi substantif.
5. Narasi Penyintas: Kontra-Narasi dan Rekonstruksi Subjektivitas
Penyintas Children of God tidak hanya menjadi saksi penderitaan, tetapi juga agen dari rekonstruksi narasi dan perjuangan hak asasi. Beberapa tokoh penting antara lain:
- Ricky Rodriguez (Davidito): Sosok simbolik dari generasi kedua yang mengalami kekerasan sejak dini. Kasus pembunuhan-bunuh dirinya pada 2005 menjadi penanda tragis dari trauma intergenerasional yang tidak tertangani.
- Rose McGowan: Aktris dan aktivis yang mengartikulasikan pengalamannya di dalam komunitas tersebut sebagai bagian dari narasi perjuangan melawan kekerasan sistemik dalam masyarakat patriarkal.
Kisah-kisah ini membentuk narasi tandingan terhadap legitimasi historis kelompok tersebut dan mempertegas pentingnya mendengarkan suara korban sebagai upaya dekontruksi narasi hegemonik.
6. Refleksi Akademik: Implikasi Teoritis dan Interdisipliner
Children of God menyediakan medan kajian yang kompleks dalam lintasan sosiologi agama, psikologi komunitas, kajian gender, dan hak asasi manusia. Beberapa implikasi penting adalah:
- Model otoritas karismatik Weberian yang berkembang tanpa mekanisme akuntabilitas.
- Relasi kuasa dalam produksi makna spiritual, di mana ideologi keagamaan dikonversi menjadi alat kontrol total.
- Kerapuhan identitas individu dalam konteks dislokasi sosial, memperlihatkan bagaimana spiritualitas dapat dieksploitasi untuk membentuk ketundukan.
- Urgensi regulasi terhadap entitas keagamaan tertutup, yang berpotensi melanggar norma-norma HAM dengan kedok religiusitas.
7. Epilog: Narasi Kekuasaan, Kerentanan, dan Resistensi
Children of God tidak semata-mata merepresentasikan penyimpangan agama, melainkan sebuah lanskap kekuasaan yang kompleks. Kajian terhadap gerakan ini mengungkap bagaimana narasi spiritual dapat bertransformasi menjadi mekanisme reproduksi kekuasaan dan eksploitasi.
Melalui pendekatan interdisipliner yang kritis, penting bagi masyarakat akademik dan praktisi kebijakan untuk merumuskan kerangka etik dan normatif dalam merespons fenomena serupa. Spiritualitas yang otentik harus diposisikan sebagai ruang pembebasan, bukan sebagai instrumen penindasan.
Artikel ini disusun dalam kerangka akademik sebagai kontribusi terhadap diskursus kritis dalam kajian agama, kekuasaan, dan struktur sosial.
🛍️ Jelajahi Toko DigitalDynasty
Temukan eBook sejarah, teknologi, dan media berkualitas dari penulis independen. Dukungan Anda sangat berarti bagi karya kami.
Kunjungi Toko Kami