Tragedi Pegawai Bank Indonesia: Tekanan Kerja yang Berujung Nyawa
Pagi Sunyi yang Mengguncang
Pukul enam pagi lebih sedikit, suasana Gedung Tipikal Bank Indonesia masih lengang. Tak ada yang menyangka pagi itu akan mencatat tragedi besar: kasus bunuh diri pegawai BI yang mengguncang publik. Seorang pria muda berusia 23 tahun berjalan cepat menuju lift, mengenakan pakaian rapi khas kantor pusat. Tapi tujuh menit kemudian, ia ditemukan tak bernyawa setelah melompat dari lantai 15 gedung tersebut.
Tragedi itu menjadi berita utama keesokan harinya. Bukan hanya karena lokasi dan institusinya, tetapi karena korban—berinisial RANK—adalah sosok muda cemerlang yang baru saja menjabat sebagai Asisten Manajer. Dan kini, publik bertanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik layar institusi sebesar Bank Indonesia?

Kronologi Singkat Kejadian
Senin, 26 Mei 2025. CCTV mencatat bahwa RANK tiba di kantor pukul 05.48 WIB. Ia naik ke lantai 15 pada pukul 06.01 WIB, dan sekitar pukul 06.07 WIB, ia melompat dari rooftop sisi barat gedung. Tidak ditemukan tanda kekerasan atau pertanda kriminalitas. Polisi menyimpulkan bahwa ini adalah kasus bunuh diri murni.
Bank Indonesia merilis pernyataan resmi yang menyampaikan duka mendalam dan menegaskan bahwa proses pemulasaraan berjalan dengan pendampingan institusi. Namun pernyataan itu tidak menjawab pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang: apa yang membuat seorang pegawai muda mengambil keputusan seberat itu?
Tekanan Tak Kasatmata di Lingkungan Kerja
Meski belum ada pernyataan resmi mengenai motif, spekulasi mulai bermunculan. Sejumlah kolega menggambarkan RANK sebagai sosok perfeksionis dan ambisius, namun tampak memikul beban berat sejak promosi ke posisi strategis. Ia berada di bawah tekanan target, standar kerja tinggi, dan ekspektasi dari atasan serta sistem kerja yang menuntut performa tanpa cela.
Di lingkungan kerja korporat seperti Bank Indonesia, tekanan kerja ekstrem bukan hal asing. Terlebih pada kalangan muda yang sedang membangun karier, tekanan ini sering dianggap sebagai “bagian dari proses”. Namun, ketika tidak dibarengi dengan dukungan psikologis yang memadai, tekanan itu bisa menjadi senyap—dan mematikan.
Menurut WHO, lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Sebagian besar dari mereka adalah individu usia produktif, yang hidup dalam sistem sosial dan ekonomi yang terus menekan. Kesehatan mental di tempat kerja kini bukan lagi isu pinggiran, tapi sudah menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.
Tragedi Serupa di Dunia: Bukan Kasus Tunggal
RANK bukan satu-satunya profesional muda yang mengambil jalan tragis ini. Dunia telah menyaksikan kasus-kasus serupa yang menjadi cermin buram budaya kerja global:

Kasus Samdarshi di India bahkan lebih menyakitkan: ia disebut mendapatkan ucapan “lebih baik mati saja” dari atasannya. Keluarga korban menuntut investigasi mendalam, dan kasus ini memicu gelombang kritik terhadap sistem manajemen yang tidak manusiawi. Sementara itu, tragedi France Télécom menjadi simbol kegagalan korporasi dalam melindungi karyawannya di masa restrukturisasi brutal.
Kasus-kasus ini menjadi bukti bahwa lingkungan kerja toksik bukan isu lokal, melainkan fenomena global yang memerlukan kesadaran dan transformasi sistemik.
Apakah Kita Mengabaikan Alarm Sosial?
Pertanyaannya kini bukan hanya “kenapa dia melakukannya?” tetapi “mengapa kita tidak melihat tanda-tandanya?”
Dalam banyak kasus, gejala burnout dan gangguan mental akibat pekerjaan sering diabaikan atau bahkan dianggap kelemahan pribadi. Padahal, tekanan kerja ekstrem bisa memengaruhi sistem saraf, perilaku sosial, dan pengambilan keputusan.
Kita harus mulai bertanya:
- Apakah lembaga menyediakan layanan konseling internal yang benar-benar bisa diakses karyawan tanpa stigma?
- Apakah pemimpin tim dilatih untuk mengenali gejala stres berat pada bawahannya?
- Apakah karyawan bisa jujur mengatakan, “Saya tidak sanggup,” tanpa takut kehilangan peluang?
Budaya “kerja keras tanpa henti” telah menormalkan kelelahan dan bahkan mengglorifikasi krisis pribadi sebagai pengorbanan profesional. Inilah saatnya kita menyadari bahwa tak ada karier yang sepadan dengan kehilangan satu kehidupan.
Dari Tragedi ke Transformasi
Kematian RANK seharusnya menjadi panggilan sadar bagi semua pihak. Ini bukan sekadar kasus pribadi, melainkan refleksi dari sistem kerja yang mungkin sudah terlalu lama membiarkan karyawan berjuang sendiri menghadapi tekanan mental.
Apa yang bisa kita lakukan?
- Bagi Institusi
Audit budaya kerja secara berkala. Bangun sistem mental health support berbasis profesional. Jangan sekadar memberi form cuti, tetapi bangun kanal curhat yang aman, privat, dan responsif. - Bagi HRD dan manajer
Sediakan pelatihan tentang empati, komunikasi psikologis, dan manajemen stres. Kenali bahwa produktivitas jangka panjang hanya bisa dicapai dari SDM yang sehat secara fisik dan mental. - Bagi rekan kerja
Jangan anggap “diam” sebagai tanda ketahanan. Sering kali, orang yang paling diam adalah yang paling butuh pertolongan. Ajak bicara, dengarkan tanpa menghakimi. - Bagi masyarakat
Hentikan glorifikasi toxic productivity. Jangan bangga pada lembur tanpa henti. Mulailah memuliakan keseimbangan hidup dan ruang untuk pulih.
Penutup: Kesehatan Mental Bukan Kemewahan
Kematian RANK bukan sekadar berita duka, tapi sinyal sistemik. Jika sistem tidak berubah, tragedi seperti ini bisa terulang—di institusi mana pun, pada siapa pun. Kita semua punya tanggung jawab, sekecil apa pun peran kita, untuk memastikan bahwa lingkungan kerja bukan menjadi medan tempur yang membunuh pelan-pelan.
Mari jadikan tragedi ini bukan sekadar headline, tapi titik tolak menuju budaya kerja yang sehat dan manusiawi. Karena kesehatan mental bukan kelemahan—ia adalah fondasi dari manusia yang utuh.
🔍 Ingin tahu lebih banyak tentang tokoh mitologi dan simbol kekuasaan?
📖 Jelajahi artikel mitologi dan sejarah lainnya hanya di DigitalDynasty.fun
📲 Bagikan artikel ini jika Anda percaya bahwa setiap perubahan besar dimulai dari satu tindakan berani